Kewenangan Direksi dalam rangka menjalankan perbuatan pengurusan Perseroan, yang secara
teoritis di dalam doktrin common law masuk dalam lingkup business judgement adalah
berorientasi pada kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan tersebut. Secara
singkat tujuan Perseroan tidak lain adalah mencari profit atau keuntungan. Salah satu perbuatan
pengurusan Direksi sebagai business judgement dapat diberi contoh adalah mencari partner bisnis,
mitra usaha, untuk bersama-sama mendirikan usaha joint venture yang mekanismenya mungkin
mirip dengan mekanisme tender untuk tercapainya tujuan Perseroan tadi. Namun dalam konteks
business judgement, pemilihan mitra melalui beauty contest dalam hukum Perseroan merupakan
bagian dari wewenang Direksi yang masuk dalam perbuatan pengurusan.
Namun demikian dengan hadirnya UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Anti Monopoli), telah menjadi perdebatan yang menarik di
kalangan pemerhati hukum bisnis, apakah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dapat
menggunakan analogi untuk melakukan perluasan penerapan kaidah UU Anti Monopoli pada
ranah perbuatan pengurusan Direksi yang masuk dalam ranah business judgement seperti
pemilihan mitra dengan cara beauty contest tersebut.
Apa itu Business Judgement Rule?
Business Judgement Rule (BJR): “ the rule shields directors and officers from liability for unprofitable
or harmful corporate transactions if the transactions were made in good faith, with due care and
within the directors or officers authority ”. Jadi BJR adalah perlindungan hukum bagi direktur dan
jajarannya dari pertanggungjawaban atas setiap kebijakan atau keputusan bisnis atau transaksi
yang mengakibatkan kerugian bagi perusahaan, selama kebijakan atau keputusan bisnis atau
transaksi bisnis tersebut dilakukan dengan iktikad baik, penuh kehati-hatian sejalan dengan
tanggung jawab dan wewenangnya.
BJR dipergunakan untuk melindungi direksi dan jajarannya dari setiap kebijakan atau keputusan
bisnis atau transaksi bisnis yang dilakukan untuk kepentingan perseroan sesuai dengan maksud
dan tujuan perseroan, dengan catatan: selama kebijakan atau keputusan bisnis atau transaksi
bisnis tersebut dilaksanakan sejalan dengan wewenangnya dan dengan mengedepankan prinsip
kehati-hatian (prudent), iktikad baik (goodfaith) dan penuh tanggung jawab (accountable/
responsible). (Bandingkan Ps 92 (1) dan (2) jo Ps 97 (1) dan (2) UU No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas/UU PT).
BJR dalam praktik Common Law System , dipakai sebagai salah satu aturan main dalam penerapan
Good Corporate Governance (Vide Case Gries Sports Enterprises, Inc v Cleveland Browns Football
Co., Inc 496 NE 2nd 959 (Ohio 1986); Lewis D Salomon, Donald E Schwart, Jeffry D Bauman and
Elliot J Weiss: Corporations Law and Policy Materials and Problems, 4th ed, St.paul Minn, West
Group,1998, hal.685).
Artinya barang siapa yang menyangkal berlakunya business judgement rule, hal itu tidak berlaku
untuk direksi dalam sebuah keputusan bisnis tertentu atas nama perseroan. Pembuktian
dibebankan kepada pihak ketiga yang mendalilkan adanya pelanggaran business judgment rule
tersebut. Yang harus dibuktikan adalah bahwa direksi dalam mengambil keputusan bisnis telah
melanggar wewenangnya, tidak didasarkan pada kepentingan perseroan dan tidak
mengedepankan prinsip kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan
perseroan.
Kesimpulannya dalam menjalankan perbuatan pengurusan dan penguasaan (berheer en
beschikkingdaden) direksi dilindungi oleh prinsip business judgement rule. Oleh karenanya tidak
ada pihak manapun yang dapat mempertanyakan keputusan bisnis yang diambil oleh direksi
perseroan yang dilakukan sesuai dengan wewenangnya.
BJR adalah standard of conduct yang menjelaskan apa dan bagaimana direksi harus bertindak
mewakili perseroan dalam keadaan tertentu atau untuk memutuskan suatu hal tertentu dalam
perbuatan pengurusan dan penguasaan (beheer en beschikkingdaden). Untuk menilai ada atau
tidak pelanggaran business judgement rule harus ada standard of review . Dalam hukum perseroan
Schilfgaarde menyebut standar penilaian tersebut adalah manajemen (Schilfgaarde, 1990., van de
BV en de NV, Achtste Druk, Gouda Quint, BV, Arhem). Otonomi direksi itu dibatasi oleh kepantasan
dan/atau kelayakan atau kewajaran (Nindyo Pramono, 1997., Sertifikasi Saham PT Go Public dan
Hukum Pasar Modal Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.122; Grinten, Sukardono, Rudhy
Prasetya berpandangan sama). Dalam hukum bisnis ukurannya adalah wajar, pantas, layak, tidak
ada benturan kepentingan.
Beauty Contest adalah sebuah terminologi praktik yang di Indonesia belum ada landasan legalnya,
sehingga beauty contest tidak terikat dengan peraturan atau legalitas apapun, termasuk dalam UU
Anti Monopoli.
Istilah Beauty Contest berasal dari kepustakaan Hukum Persaingan Luar Negeri terutama yang
menganut Common Law System . Beauty Contest dalam praktik bisnis di Indonesia sebagai bagian
dari Business Judgement Direksi adalah praktik pemilihan mitra untuk mendapatkan calon
partner usaha guna pengembangan suatu kegiatan bisnis tertentu atau suatu proyek tertentu.
Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau
melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Apakah Beauty Contest sama dengan “Tender“?
Beauty Contest sebagai bentuk pemilihan mitra untuk mencari partner kerjasama usaha (joint
venture) tidak dapat disamakan dengan pengertian “tender” sebagaimana diatur di dalam UU
Anti Monopoli.
Ketentuan mengenai “tender” proyek barang dan/atau jasa dalam UU Anti Monopoli diatur di
dalam Pasal 22 tentang Persekongkolan Tender. Definisi “Tender” ditemukan di dalam penjelasan
Pasal 22 yang mengatakan bahwa “tender” adalah tawaran mengajukan harga untuk memborong
suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang atau untuk menyediakan jasa.
Dengan demikian unsur “tender” :
a. adanya tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan;
b. adanya tawaran harga untuk mengadakan atau menyediakan barang-barang;
c. adanya tawaran harga untuk menyediakan jasa.
Dengan mengacu pada unsur-unsur “tender” sebagaimana dikemukakan di atas, Beauty Contest
dalam konteks pemilihan mitra usaha untuk mendapatkan partner usaha untuk menjalin
kerjasama (joint venture), sekalipun dilakukan dengan cara menyeleksi calon mitra tidak dapat
diartikan sebagai bentuk “tender” sebagaimana diatur di dalam UU Anti Monopoli.
Terlebih lagi, jika penyeleksian calon mitra dalam Beauty Contest untuk memperoleh partner
usaha tersebut kemudian diartikan sebagai suatu bentuk “persekongkolan tender”, yang masuk
dalam ranah persaingan usaha tidak sehat, menurut hemat Penulis tidak tepat. Pemilihan mitra
sebagai suatu business judgement yang dilakukan oleh Direksi sesuai dengan ranah wewenangnya
sebagai Organ PT yang diberi wewenang untuk melakukan perbuatan pengurusan (beheerdader).
Keputusan bisnis demikian adalah sah dan tidak bisa diganggu gugat oleh pihak lain asal
acuannya adalah kepentingan perseroan.
Jika pemilihan mitra usaha tersebut justru mendatangkan efisiensi, maka tidak ada satu pihak
manapun yang dapat menyalahkan keputusan business judgement direksi tersebut, bahkan
termasuk Pemegang Saham, asal pemilihan mitra tersebut diputuskan sesuai dengan
wewenangnya dengan mengacu pada kepentingan perseroan.
Dapatkah dipakai Metode Argumentum Per Analogiam ?
Memang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah lembaga yang diberi amanat untuk
melaksanakan UU Anti Monopoli. Ia dapat menggunakan interpretasi jika terdapat peristiwa
konkrit yang belum atau tidak jelas pengaturannya dalam UU atau terdapat kekosongan hukum. Ia
dapat saja menggunakan metode penemuan hukum: analogi (Argumentum Per Analogiam), dalam
membuat keputusan hukumnya.
Namun kapan Ia dapat menerapkan analogi? Ini yang menjadi pertanyaan. Adakalanya
peraturan perundang-undangan itu terlalu sempit ruang lingkupnya, sehingga untuk dapat
menerapkan UU pada peristiwanya, hakim akan memperluasnya dengan metode argumentum per
analogiam atau analogi. Dengan analogi peristiwa yang serupa, sejenis atau mirip dengan yang
diatur dalam UU diperlakukan sama (Sudikno Mertokusumo, 1996., Penemuan Hukum Sebuah
Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hal.65).
Pada analogi, suatu peraturan khusus dalam UU dijadikan umum yang tidak tertulis dalam UU,
kemudian digali asas yang terdapat di dalamnya dan disimpulkan dari ketentuan yang umum itu
peristiwa yang khusus. Peraturan umum yang tidak tertulis dalam UU itu diterapkan terhadap
peristiwa tertentu yang tidak diatur dalam UU tersebut, tetapi mirip atau serupa dengan peristiwa
yang diatur dalam UU ( Ibid ).
Pertanyaannya, kapan dapat digunakan analogi? Analogi digunakan apabila menghadapi
peristiwa-peristiwa yang analog atau mirip. Tidak hanya sekedar mirip, juga apabila kepentingan
masyarakat hukum menuntut pernilaian yang sama (Zeverbergen, 1925 : 317, Ibid ).
Oleh hakim penalaran analogi digunakan kalau hakim harus menjatuhkan putusan dalam suatu
konflik yang tidak tersedia peraturannya. Dalam hal ini hakim bersikap seperti pembentuk UU
yang mengetahui adanya kekosongan hukum, akan melengkapinya dengan peraturan yang serupa
seperti yang dibuatnya yang telah ada peraturannya. Maka hakim akan mencari pemecahan
untuk peristiwa yang tidak diatur, dengan penerapan peraturan untuk peristiwa yang telah diatur
yang sesuai secara analog.
Contoh: Pasal 1756 KUHPerdata mengatur tentang mata uang (geldspecie). Apakah uang kertas
termasuk di dalamnya? Dengan jalan analogi maka “mata uang“ menurut Pasal 1756 KUHperdata
Ayat (2) ditafsirkan termasuk uang kertas. Jual beli tidak memutuskan hubungan sewa menyewa
(Pasal 1576 KUHPerdata). Dalam hal hibah, tukar menukar, dsb tidak tersedia peraturan
khususnya. Dengan jalan analogi, dengan memperluas pengertian jual beli, maka setiap
perbuatan pengalihan hak milik, dapat dimasukkan ke dalam lingkup Pasal 1576 KUHPerdata.
Oleh sebab itu analogi dalam ilmu hukum ada yang memasukkan ke dalam metode penafsiran
ekstensif. Hakim pidana dilarang menggunakan analogi memasukkan peristiwa-peristiwa ke
dalam lingkup undang-undang pidana, tetapi tidak dilarang menggunakan interpretasi ekstensif,
walaupun pada hakikatnya analogi bersifat memperluas seperti pada penafsiran ekstensif.
Menurut hemat Penulis terlalu jauh jika Beauty Contest dalam konteks pemilihan mitra usaha,
dengan metode analogi disamakan dengan mekanisme “tender” dalam UU Anti Monopoli,
sehingga jika tidak dilakukan secara transparan sesuai dengan prosedur tender, kemudian dengan
metode analogi dijerat dengan pelanggaran Pasal “persekongkolan“ sebagaimana diatur di Pasal
22 UU Anti Monopoli. Menurut hemat Penulis berdasarkan asas legalitas untuk tercapainya asas
kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Sistem Hukum Kontinental, maka analogi semacam
itu tidak dapat dibenarkan.
Lelang barangkali analog dengan tender, Ya! Namun Beauty Contest yang tujuannya jelas untuk
mencari mitra bisnis, untuk membuat perusahaan joint venture misalnya, dengan metode tertentu,
Prinsipal mengundang calon mitra, menyeleksinya dengan standar tertentu, menurut hemat
Penulis jelas bukan soal “tender”. Oleh sebab itu bukan saja tidak mirip dengan “tender”, juga
tidak serupa. Untuk itu tidak tepat jika untuk memahami tentang Beauty Contest kemudian dengan
analogi dibuat suatu justifikasi bahwa Beauty Contest dalam konteks pemilihan mitra usaha
(partner usaha; joint venture) masuk dalam ranah “tender”, sehingga kalau tidak dilakukan sesuai
dengan prosedur “tender” dapat dikenai Pasal 22 tentang Persekongkolan Tender, UU Anti
Monopoli.
Apalagi analogi di sini dipakai dalam kerangka untuk menjatuhkan sanksi hukum yang mungkin
masuk dalam ranah pelanggaran pidana, Hakim jelas dilarang untuk menggunakan analogi. Dari
sudut pandang Business Judgement Rule dalam Teori Hukum PT, juga dalam UU PT, keputusan
bisnis untuk melakukan Beauty Contest untuk memperoleh Mitra Bisnis yang profesional, tidak
ada hal-hal yang terkait dengan penawaran harga, barang dan atau jasa, jelas hal itu adalah ranah
perbuatan pengurusan (berheer daden) yang wewenangnya ada pada setiap Direksi Perseroan.
Jika doktrin maupun ketentuan hukum dalam UU PT seperti ini dilanggar dengan metode analogi,
hemat saya akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Bahkan cenderung bertentangan dengan
kepentingan perseroan dan/atau maksud dan tujuan perseroan, yang intinya adalah untuk
memupuk keuntungan untuk kepentingan perseroan dan/atau pemegang saham.
“Persekongkolan tender” itu lazimnya terjadi dan dilakukan antar peserta “tender”. Misalnya
antar Kontraktor yang secara kolutif bersepakat mengatur harga penawaran “tender”, untuk
tujuan “arisan” tender, dimana pada kesempatan sekarang si A yang menang dan nanti si B yang
menang dan seterusnya. Misalnya: sebuah instansi Pemerintah akan membangun gedung untuk
kantor. Dalam pelaksanaan pembangunan tersebut, instansi ini mengundang kontraktor untuk
mengajukan tender. PT. “A”, PT “B”, dan PT “C” merupakan kontraktor yang tertarik untuk
melakukan pekerjaan pemborongan. Ketiga perusahaan tersebut saling mengetahui bahwa
ketiganya akan mengajukan tender. Penawaran diatur. (Bid rigging) Contoh di atas adalah
“persekongkolan tender“, masuk dalam ranah perbuatan yang dilarang – Per se illegal .
Beauty Contest tidak masuk dalam kategori seperti ini. Jika Prinsipal (dalam tender disebut:
Bouwheer ) justru melakukan tindakan kolutif dengan Kontraktornya yang nantinya akan diberi
tanggung jawab untuk mengerjakan proyek yang dia pimpin, rasanya tidak masuk akal sehat,
karena justru kepentingannya akan dikorbankan. Beauty Contest murni adalah sebuah keputusan
bisnis yang masuk dalam ranah Business Judgement Rule yang dilindungi oleh UU PT.
Penutup
Business Judgement Rule adalah perlindungan hukum bagi direksi PT dari pertanggung jawaban
atas setiap keputusan bisnis yang dibuat, selama keputusan bisnis tersebut dilakukan dengan
iktikad baik (goodfaith), penuh kehati-hatian (prudent) serta secara bertanggung jawab
(acountable atau responsible) sejalan dengan wewenangnya.
Beauty Contest sebagai Business Judgement Direksi tidak dapat disamakan atau dianalogikan
dengan tender sebagaimana diatur di dalam UU Anti Monopoli. Beauty Contest tidak dapat
dikenai ketentuan Pasal 22 UU Anti Monopoli tentang Persekongkolan Tender dengan jalan
analogi.
*Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Daftar Rujukan
Andri Adam, 2010., Doktrin Business Judment Rule dan Fiduciary Duty Dalam UU No.40 Tahun 2007
Tentang PT Terhadap Perkara Perdata Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Direktur PT KMI, Tesisi
S2, Program Pasca Sarjana, FH, UGM, Tidak dipublikasikan.
Denny Adrianus, 2010., Penerapan Business Judment Rule Dalam Pertanggungjawaban Direksi Bank
Yang Berbadan Hukum PT Berdasarkan UU No.40 Tahun 2007 Tentang PT, Tesis S2, Pasca Sarjana
FH UGM, Tidak dipublikasikan.
Grinten, 1976., Handboek voor de Naamloze en de Besloten Vennootschap, IIe druk, met
Medewerking van H.J.M.N Hones, H.M.N.Schonis, W.E.Tjeenk Willink, Zwole.
Nindyo Pramono,1997., Sertifikasi Saham PT Go Public dan Hukum Pasar Modal Di Indonenesia,
Citra Aditya bakti, Bandung.
Rudhy Prasetya, 1983., Kedudukan Mandiri dan Pertanggung jawaban dari Perseroan Terbatas,
Airlangga University Press, Surabaya.
Sudikno Mertokusumo, 1996., Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta.
Schilfgaarde, 1990., Van de BV en De NV, Achtste Druk, Gouda Quint, BV, Arnhem.
Blog ini berisi bahan kuliah, syiar Islam, dan informasi seputar perkuliahan yang kami asuh
Kamis, 02 Agustus 2012
Beauty Contest sebagai Business Judgement versus Persaingan Usaha Tidak Sehat Oleh: Prof DR Nindyo Pramono SH, MS *) Beauty Contest adalah sebuah terminologi praktik yang di Indonesia belum ada landasan legalnya, sehingga beauty contest tidak terikat dengan peraturan atau legalitas apapun, termasuk dalam UU Anti Monopoli. Dikutip dari hukumonline
Contoh Kasus Tindak Pidana Perbankan
BONE,KOMPAS.com - Kasus kejahatan di dunia perbankan kembali terjadi di Kabupaten Bone Sulawesi Selatan, kali menimpa Bank Rakyat Indonesia (BRI) setempat. Pelaku yang tak lain adalah pegawai bank tersebut menggelapkan uang nasabahnya dengan cara memalsukan dokumen. Peristiwa ini terjadi saat kepala cabang bank tersebut, Dadang Rukman, melaporkan sendiri pegawainya berinisial AW ke Markas Kepolisian Resor (Polres) Bone. Diperkirakan, kasus penggelapan ini mulai terjadi sejak April 2012 di mana AW memalsukan dokemen milik salah satu nasabah berinisial AS untuk mencairkan uang senilai Rp. 138 juta. Tak hanya itu, AW juga menggelapkan uang nasabah lainnya berinisial SH yang telah disetornya pada bulan lalu senilai Rp. 100 Juta. Atas peristiwa ini, pihak BRI menderita kerugian senilai Rp. 238 juta. Pihak Kepolisian Resor (Polres) Bone yang dimintai keterangan terkait dengan laporan ini hanya membenarkan dan mengaku masih melakukan penyelidikan "Laporan kepala cabangnya telah kami terima, dan sementara kami masih melakukan penyelidikan," ujar AKP Abdul Muin, Kepala Sub Bagian (Kasuba) Hubungan Masyarakat (Humas) Polres Bone. Kamis, (02/08/2012).