Pengaturan mengenai gabungan peraturan
atau concursus idealis atau eendaadse samenloop dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia diatur dalam Pasal 63 ayat(1) yang
berbunyi sebagai berikut :
Jika
sesuatu perbuatan termasuk dalam beberapa ketentuan pidana,maka hanyalah
dikenakan satu saja dari ketentuan itu; jika hukumannya berlainan, maka yang
dikenakan ialah ketentuan yang terberat hukuman pokoknya.
Berdasar ketentuan Pasal 63 ayat (1)
KUHP di atas, maka dapat disimpulkan, yang dinamakan dengan gabungan perbuatan
adalah bila pelaku tindak pidana telah
melakukan sesuatu perbuatan, dan perbuatan tersebut melanggar lebih dari satu
ketentuan pidana.
Dalam rangka memahami adanya Concursus Idealis yang menjadi penekanan
pada Pasal 63 ayat (1) KUHP tersebut adalah pada kata suatu perbuatan (een feit). Terdapat 2 (dua) kelompok
pandangan ahli yang mencoba menjelaskan mengenai masalah tersebut, yaitu :
a.
Pandangan Klasik
Pandangan klasik ini berlaku sebelum
tahun 1932, dimana para ahli yang mempunyai pandangan klasik ini antara lain
adalah G.A.van HAMEL, D. SIMONS, ZEVENBERGEN. Pandangan para ahli sebelum tahun
1932 ini juga mewarnai arrest Hoge Raad sebelum tahun 1932 dalam menangani
kasus Concursus Idealis.
Menurut para ahli yang memiliki
pandangan klasik, yang dinamakan perbuatan dalam Pasal 63 ayat (1) KUHP adalah
perbuatan jasmani (materieel feit).
b.
Pandangan Modern
Pandangan modern ini berlaku sesudah
tahun 1932, dimana para ahli yang mempunyai pandangan modern ini,misalnya :
VOS, POMPE. Para ahli yang berpandangan modern ini tidak sependapat yang
dikatakan sebagai perbuatan itu adalah perbuatan jasmani saja, tapi juga harus
memperhatikan ukuran-ukuran lain yang dilihat berdasar fakta-fakta dari kasus
yang bersangkutan, sehingga pandangan modern ini tidak dapat mematok ukuran
yang umum tentang apa yang disebut dengan perbuatan itu sendiri.
Penjatuhan
pidana pada perbarengan peraturan menggunakan SISTEM HISAPAN atau ABSORBSI
STELSEL, artinya hanya dipidana terhadap salah satu dari aturan pidana itu, dan
jika diantara aturan-aturan pidana itu berbeda-beda ancaman pidananya, maka
yang dikenakan adalah aturan pidana yang terberat ancaman pidana pokoknya, dan
apabila satu perbuatan itu masuk dalam aturan pidana umum sekaligus aturan
pidana khusus, maka yang dikenakan adalah aturan pidana khusus saja.
Berdasar
hal tersebut diatas, maka dapat ditarik kesimpulan tentang penjatuhan pidana
dalam hal Gabungan Peraturan ini, yaitu :
a.
Gabungan Peraturan untuk perbuatan yang diancam
dengan pidana pokok yang sama berat
Dalam kasus Gabungan Peraturan seperti ini,
maka penjatuhan pidana yang dikenakan terhadap pelaku tindak pidana adalah
hanya salah satu dari peraturan tersebut.
b.
Gabungan Peraturan untuk perbuatan yang diancam
dengan pidana pokok yang tidak sama berat
Dalam kasus Gabungan Peraturan seperti
ini, maka penjatuhan pidana yang dikenakan terhadap pelaku tindak pidana adalah
peraturan pidana yang ancaman pidana pokoknya terberat.
c.
Gabungan Peraturan untuk perbuatan yang diancam
dengan aturan pidana umum sekaligus dalam aturan pidana khusus
Dalam kasus Gabungan Peraturan seperti
ini, maka penjatuhan pidana yang dikenakan terhadap pelaku tindak pidana adalah
yang termuat dalam aturan pidana khusus saja. Hal ini merupakan penerapan asas lex specialis derogat legi generali.
Aturan pidana umum tersebut adalah sama dengan
apa yang dimaksud tindak pidana dalam bentuk pokok atau standar. Sedangkan aturan
pidana khusus adalah aturan pidana mengenai tindak pidana itu dalam bentuk yang
diperberat atau diperingan.DAFTAR PUSTAKA
Drs.ADAMI CHAZAWI, 2005, PELAJARAN HUKUM PIDANA BAGIAN 2, Jakarta : Rajawali Pers
R.SOESILO, 1996, KITAB UNDANG_UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) SERTA KOMENTAR-KOMENTARNYA LENGKAP PASAL DEMI PASAL, Bogor : Politeia.
boleh share pa, trimakasih http://ilmuhukumdasar.blogspot.com/
BalasHapus