Selasa, 19 Februari 2013

SIFAT & FUNGSI HUKUM PIDANA


SIFAT  HUKUM PIDANA

Hukum Pidana itu bersifat sebagai hukum publik, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara individu dengan suatu masyarakat hukum umum, yakni negara atau daerah-daerah di dalam negara (P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm.14).
Sifat Hukum Pidana sebagai Hukum Publik tampak jelas dari kenyataan-kenyataan, yaitu antara lain :
a.    Bahwa sifat melawan hukum dalam Hukum Pidana tetap ada sekalipun tindakan tersebut dilakukan atas persetujuan terlebih dahulu dari korban;
b.    Bahwa penuntutan perkara pidana tidak digantungkan pada keinginan dari orang yang telah dirugikan oleh suatu tindak pidana, melainkan ada pada negara.

FUNGSI HUKUM PIDANA

Hukum Pidana merupakan bagian dari tata hukum yang ada di suatu negara, oleh karena itu Hukum Pidana juga melaksanakan fungsi dari hukum itu sendiri. Pada dasarnya fungsi Hukum Pidana dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :
a.       Fungsi Umum; dan
b.      Fungsi Khusus.

a.    Fungsi Umum
Sebagai bagian dari tata hukum disuatu negara, maka hukum pidana juga melaksanakan fungsi dari hukum itu sendiri, yaitu menciptakan atau mewujudkan suatu rasa aman bagi setiap anggota masyarakat. Fungsi hukum seperti itu dapat terwujud apabila, hukum itu :
(1)    Mempunyai kepastian;
(2)    Dapat menegakan keadilan;
(3)    Mempunyai kegunaan.
Berdasar hal tersebut diatas, maka Hukum Pidana yang dibentuk oleh pembentuk Undang-Undang (ditingkat nasional atau daerah) harus bisa mencerminkan ketiga hal di atas, yaitu adanya kepastian, keadilan dan kegunaan.
b.    Fungsi Khusus
Selain mewujudkan fungsi hukum secara umum, maka Hukum Pidana juga mempunyai fungsi tersendiri, sesuai dengan bentuk hukuman pidana yang menimbulkan penderitaan yang bersifat khusus, berbeda bila dibandingkan dengan hukuman dari hukum-hukum yang lain (hukum perdata,hukum administrasi).
Hukum Pidana itu menurut Mr. MODDERMAN (Menteri Kehakiman Belanda) berfungsi sebagai ULTIMUM REMEDIUM atau sebagai suatu upaya yang harus dipergunakan sebagai upaya terakhir untuk memperbaiki kelakuan manusia, karena itu dalam penerapan hukum pidana haruslah disertai dengan pembatasan-pembatasan yang seketat mungkin.

Sabtu, 16 Februari 2013

ARTI HUKUM


Membicarakan hukum, maka terlebih dahulu yang ingin kita ketahui tentunya memahami apa itu hukum? Atau dengan kata lain apa sebenarnya arti hukum itu ?
Dalam tulisan ini akan dikemukakan beberapa arti hukum yang dikutif dari buku DR.Seodjono Dirdjosisworo,S.H., Pengantar Ilmu Hukum, sebagai berikut :
1.    Hukum dalam arti penguasa
Hukum disini merupakan perangkat-perangkat peraturan tertulis yang dibuat oleh pemerintah, melalui badan-badan yang berwenang membentuk berbagai peraturan tertulis seperti berturut-turut: undang-undang dasar, undang-undang, keputusan presiden, peraturan pemerintah, keputusan menteri dan peraturan-peraturan daerah. Termasuk dalam bentuk hukum yang merupakan ketentuan penguasa adalah keputusan-keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum atau jurisprudensi sebagai sumber hukum tertulis.
Hukum dalam arti penguasa disini bentuknya biasanya memang dalam bentuk tertulis, namun di negara kita Indonesia juga menghormati bentuk-bentuk hukum yang tidak tertulis, misalnya kebiasaan-kebiasaan, Hukum Adat yang tubuh dan berkembang disuatu masyarakat tertentu.
2.    Hukum dalam arti para petugas
Hukum dalam arti petugas disini merupakan perwujudan hukum dalam wujud fisik yang ditampilkan oleh para petugas yang menegakan hukum,misal: Polisi, Jaksa, Hakim dan lain sebagainya. Jadi hukum disini merupakan sesuatu yang Nampak dan dapat melaksanakan paksaan terhadap siapa saja yang dianggap melakukan kesalahan.
3.    Hukum dalam arti sikap tindak
Hukum dalam arti sikap tindak adalah perilaku yang ajeg atau sikap tindak yang teratur.
4.    Hukum dalam arti sistem kaidah
Hukum sebagai sistem kaidah adalah :
a.       Suatu tata kaidah hukum yang merupakan sistem kaidah-kaidah hukum secara hirarkis.
b.      Susunan kaidah-kaidah hukum yang sangat disederhanakan dari tingkat bawah keatas meliputi : 1) kaidah-kaidah individual dari badan-badan pelaksana hukum terutama pengadilan; 2) kaidah-kaidah umum di dalam undang-undang atau hukum kebiasaan; 3) kaidah konstitusi.
c.       Sahnya kaidah-kaidah hukum dari golongan tingkat yang lebih rendah tergantung atau ditentukan oleh kaidah-kaidah yang termasuk golongan tingkat yang lebih tinggi.
Hukum dalam arti sistem kaidah juga menghormati berbagai kaidah yang hidup dimasyarakat, seperti:
a.       Kaidah-kaidah kesopanan;
b.      Kaidah-kaidah kesusilaan;
c.       Kaidah-kaidah agama.  
5.    Hukum dalam arti jalinan nilai
Hukum dalam arti jalinan nilai artinya norma hukum tersebut dibentuk berdasarkan nilai-nilai obyektif yang bersifat universal tentang sesuatu yang baik dan buruk, patut tidak patut, yang bertujuan untuk melindungi kepentingan antar individu, pemenuhan kebutuhan dan perlindungan hak, sehingga terwujud suatu kepastian hukum.
6.    Hukum arti tata hukum
Hukum dalam arti tata hukum artinya merupakan hukum yang berlaku disuatu tempat, pada saat tertentu atau dikenal juga dengan hukum positif.
7.    Hukum dalam arti ilmu hukum
Hukum dalam arti ilmu hukum artinya hukum disini merupakan cabang ilmu pengetahuan yang dapat dipelajari, guna dicari kebenaran dan kekurangannya untuk menghasilkan suatu teori yang dapat dipergunakan di masyarakat.
8.    Hukum dalam arti disiplin
Hukum dalam arti disiplin artinya adalah hukum disini merupakan gejala dan kenyataan yang ada ditengah-tengah masyarakat.

Kamis, 07 Februari 2013

Diduga Diperkosa Guru, Siswi SD Hamil

SAMARINDA - Polisi tengah menyelidiki kasus perkosaan yang menimpa Intan (13), seorang murid SD di Sungai Kunjang, Kota Samarinda. Akibat perkosaan yang diduga dilakukan oknum guru itu, Intan kini tengah hamil enam bulan. 

Sayangnya, polisi kesulitan mengumpulkan bahan lengkap untuk menjerat pelaku lantaran Intan belum bisa memberikan keterangan. Meski demikian, Intan telah menjalani visum. Sejauh ini, polisi baru berbekal keterangan orangtua korban. 

Kapolresta Samarinda Kombes Pol Arief Prapto S, melalui Kasubag Humas Ipda Agus Setyo D menegaskan, tidak dapat menyampaikan banyak hal mengenai perkembangan kasus yang dilaporkan Sabtu (26/1) lalu itu.

"Sejauh ini, sesuai keterangan Unit Perlindungan Anak dan Perempuan (PPA) Satreskrim Polresta Samarinda, memberikan pernyataan belum memeriksa korban (Intan, Red). Pemeriksaan sudah dilakukan kepada orangtua korban selaku pelapor. Namun pemeriksaannya pun dianggap masih kurang," kata Agus.

"Pasti korban akan diperiksa, juga beberapa saksi termasuk tetangga korban yang memberikan informasi kepada orangtuanya korban," tegasnya.
 
Sementara itu, keprihatinan datang dari psikolog Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Kaltim, Sumarsih. Dia mengatakan, Intan harus ditangani secara khusus. Tidak hanya fisiknya saja, mental atau psikisnya akan terganggu jika tidak segara dipulihkan.
 
Korban perlu mendapatkan terapi dan pembimbingan. Bahkan, jika perlu dipindahkan dari lingkungannya untuk menghilangkan trauma dari kejadian yang sudah dialaminya. 

"Korban itu ada kecenderungan ingin melupakan trauma yang dialaminya. Jadi mungkin bisa ditempatkan di lingkungan terbatas dengan orang-orang baru, " kata Sumarsih. 

Hal ini menurutnya perlu dilakukan, karena bisa saja di lingkungan yang lama, korban akan sulit membentuk kembali pribadinya . Karena malu, dia jadi minder, kurang percaya diri hingga tertutup.
 
Menurut Sumarsih,  orangtuanya juga perlu mendapat pendampingan konseling.  "Pindah dari lingkungan yang baru adalah hal yang tepat. Di lingkungan baru dia akan mendapat suasana baru yang tentu saja tetap dalam pengawasan orangtua," kata Sumarsih.  

Sementara itu, dua hari sejak dilaporkannya kasus ini, Intan berada dalam pengawasan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Samarinda. Ia dititipkan di salah satu rumah singgah mitra P2TP2A. Tentu saja, sembari pemulihan mental dan fisiknya.  

Karena, sejak diketahui hamil, prilaku Intan ada yang berubah. Ia menjadi anak yang pendiam dan lebih banyak murung. Tentu saja berbalik dari sikapnya semula yang periang.  

Ketua P2TP2A Samarinda, Fitri menjelaskan, anak pertama dari tiga bersaudara itu kini berada dalam kondisi aman. Dari pantauannya dalam dua hari ini, bocah manis itu kerap memandangi perutnya yang kian membesar. Bahkan sesekali dia mengeluh.   

"Kita terus memantau kondisinya. Ini akan kita lakukan sampai waktunya melahirkan nanti. Untuk usianya, secara fisik kondisinya baik-baik saja. Ia terkadang hanya kelelahan. Sama seperti yang dialamin orang dewasa yang sedang hamil," terang Fitri. 

Menurutnya, orangtua Intan jelas merasa sedih. Karena hingga kini, si pelaku masih bebas berkeliaran. Selain itu, mereka berharap pihak sekolah tetap mengizinkan Intan mengikuti ujian akhir sekolah (UAS) pertengahan tahun mendatang. (oke/rm-4/ica)

Polisi Tangkap 74 Pelaku Kerusuhan Sumbawa Besar

TEMPO.COMataram - Pihak kepolisian telah menangkap 74 tersangka pelaku kerusuhan di Kota Sumbawa Besar yang terjadi pada Selasa sore, 22 Januari 2013. Mereka ditahan di sel Markas Kepolisian Resor Sumbawa dan dikenai pasal pencurian dengan pemberatan.

Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat (NTB), Ajun Komisaris Besar Sukarman Husein, menjelaskan, para tersangka penjarahan dikenai pasal pencurian dengan pemberatan. "Karena tertangkap basah dengan barang jarahannya," kata Sukarman kepada Tempo melalui sambungan telepon, Rabu, 23 Januari 2013 pagi. Bukti-bukti barang hasil jarahan jarahan itu berasal dari berbagai rumah, hotel, toko, dan pasar milik warga suku Bali yang berdiam di Sumbawa Besar.

Kerusuhan timbul akibat isu menyesatkan bahwa telah terjadi pemerkosaan terhadap seorang mahasiswi semester lima Universitas Samawa bernama Arniyati, 30 tahun, warga Labuan Badas Sumbawa. Padahal, kata Sukarman, korban jatuh dari sepeda motor sewaktu membonceng pacarnya yang bernama I Gede Eka Swarjana, 30 tahun. Eka Swarjana merupakan personel Kepolisian Sektor Buer berpangkat brigadir asal Bali.

Kejadian ini bermula pada Sabtu malam, 19 Januari 2013, sekitar pukul 23.00 waktu setempat. Saat pulang dari tempat hiburan malam di kawasan pantai Batu Gong, sekitar 15 kilometer dari Kota Sumbawa Besar, Arniyati dan GES mengalami kecelakaan. Arniyati mengalami luka di bagian kepala, sedangkan GES mengalami patah tulang iga sebelah kanan. Meskipun sempat dievakuasi ke Rumah Sakit Umum Sumbawa, nyawa Arniyati tidak tertolong. (Baca juga: Kronologi Kerusuhan Sumbawa Besar)

Tewasnya Arniyati membuat sekelompok mahasiswa melakukan aksi ke Polres Sumbawa. Mereka meminta kepolisian untuk mengusut kasus tersebut. Aksi tersebut diwarnai perusakan 35 rumah warga asal Bali, satu pura, satu bangunan hotel, pasar Seketeng, toko dan dua kios, serta dua pasar swalayan. Beberapa bangunan tersebut dibakar dan dijarah. Akibat aksi ini, sebanyak 200 warga diungsikan ke Markas Polres Sumbawa dan 300 orang di Markas Komando Distrik Militer Sumbawa.

Sukarman mengatakan perusakan dan penjarahan dilakukan oleh warga yang murka dan kehilangan akal sehatnya. Jumlah mereka tidak seimbang dengan anggota polisi dan TNI AD di lapangan. "Kami hanya sebatas mengimbau saja," ujarnya.

Untuk mengantisipasi keadaan di Sumbawa Besar, kepolisian telah mengerahkan personel sebanyak 1.660 orang anggota dari Polres yang berdekatan, seperti Dompu, Sumbawa Barat, dan Lombok Timur. Bahkan, ada 141 anggota Brimob dari Polda Jawa Timur. Kepolisian juga dibantu anggota TNI Angkatan Darat.

SUPRIYANTHO KHAFID

GABUNGAN PERATURAN (CONCURSUS IDEALIS atau EENDAADSE SAMENLOOP)


Pengaturan mengenai gabungan peraturan atau concursus idealis atau eendaadse samenloop dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia diatur dalam Pasal 63 ayat(1) yang berbunyi sebagai berikut :
Jika sesuatu perbuatan termasuk dalam beberapa ketentuan pidana,maka hanyalah dikenakan satu saja dari ketentuan itu; jika hukumannya berlainan, maka yang dikenakan ialah ketentuan yang terberat hukuman pokoknya.
Berdasar ketentuan Pasal 63 ayat (1) KUHP di atas, maka dapat disimpulkan, yang dinamakan dengan gabungan perbuatan adalah bila pelaku tindak pidana telah melakukan sesuatu perbuatan, dan perbuatan tersebut melanggar lebih dari satu ketentuan pidana.
Dalam rangka memahami adanya Concursus Idealis yang menjadi penekanan pada Pasal 63 ayat (1) KUHP tersebut adalah pada kata suatu perbuatan (een feit). Terdapat 2 (dua) kelompok pandangan ahli yang mencoba menjelaskan mengenai masalah tersebut, yaitu :
a.       Pandangan Klasik
Pandangan klasik ini berlaku sebelum tahun 1932, dimana para ahli yang mempunyai pandangan klasik ini antara lain adalah G.A.van HAMEL, D. SIMONS, ZEVENBERGEN. Pandangan para ahli sebelum tahun 1932 ini juga mewarnai arrest Hoge Raad sebelum tahun 1932 dalam menangani kasus Concursus Idealis.
Menurut para ahli yang memiliki pandangan klasik, yang dinamakan perbuatan dalam Pasal 63 ayat (1) KUHP adalah perbuatan jasmani (materieel feit).
b.      Pandangan Modern
Pandangan modern ini berlaku sesudah tahun 1932, dimana para ahli yang mempunyai pandangan modern ini,misalnya : VOS, POMPE. Para ahli yang berpandangan modern ini tidak sependapat yang dikatakan sebagai perbuatan itu adalah perbuatan jasmani saja, tapi juga harus memperhatikan ukuran-ukuran lain yang dilihat berdasar fakta-fakta dari kasus yang bersangkutan, sehingga pandangan modern ini tidak dapat mematok ukuran yang umum tentang apa yang disebut dengan perbuatan itu sendiri.
Penjatuhan pidana pada perbarengan peraturan menggunakan SISTEM HISAPAN atau ABSORBSI STELSEL, artinya hanya dipidana terhadap salah satu dari aturan pidana itu, dan jika diantara aturan-aturan pidana itu berbeda-beda ancaman pidananya, maka yang dikenakan adalah aturan pidana yang terberat ancaman pidana pokoknya, dan apabila satu perbuatan itu masuk dalam aturan pidana umum sekaligus aturan pidana khusus, maka yang dikenakan adalah aturan pidana khusus saja.
Berdasar hal tersebut diatas, maka dapat ditarik kesimpulan tentang penjatuhan pidana dalam hal Gabungan Peraturan ini, yaitu :
a.       Gabungan Peraturan untuk perbuatan yang diancam dengan pidana pokok yang sama berat
Dalam kasus Gabungan Peraturan seperti ini, maka penjatuhan pidana yang dikenakan terhadap pelaku tindak pidana adalah hanya salah satu dari peraturan tersebut.
b.      Gabungan Peraturan untuk perbuatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sama berat
Dalam kasus Gabungan Peraturan seperti ini, maka penjatuhan pidana yang dikenakan terhadap pelaku tindak pidana adalah peraturan pidana yang ancaman pidana pokoknya terberat.
c.       Gabungan Peraturan untuk perbuatan yang diancam dengan aturan pidana umum sekaligus dalam aturan pidana khusus
Dalam kasus Gabungan Peraturan seperti ini, maka penjatuhan pidana yang dikenakan terhadap pelaku tindak pidana adalah yang termuat dalam aturan pidana khusus saja. Hal ini merupakan penerapan asas lex specialis derogat legi generali.
Aturan pidana umum tersebut adalah sama dengan apa yang dimaksud tindak pidana dalam bentuk pokok atau standar. Sedangkan aturan pidana khusus adalah aturan pidana mengenai tindak pidana itu dalam bentuk yang diperberat atau diperingan.

DAFTAR PUSTAKA
Drs.ADAMI CHAZAWI, 2005, PELAJARAN HUKUM PIDANA BAGIAN 2, Jakarta : Rajawali Pers
R.SOESILO, 1996, KITAB UNDANG_UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) SERTA KOMENTAR-KOMENTARNYA LENGKAP PASAL DEMI PASAL, Bogor : Politeia.

Kamis, 31 Januari 2013

KEWAJIBAN MEMELIHARA SHALAT


Q.S. Al Baqarah ayat 238 : Peliharalah segala shalat (mu), dan (peliharalah) shalat wustha. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk.
Tafsir Ayat : 238
Allah Ta’ala memerintahkan untuk memelihara, { عَلَى الصَّلَوَاتِ } “shalat” secara umum dan, { الصَّلاَةِ الْوُسْطَى } “Shalat wustha” yaitu shalat ashar pada khususnya. Memelihara shalat adalah menunaikannya pada waktunya, dengan syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, khusyu’ padanya, dan seluruh hal yang wajib maupun yang sunnah. Dengan memelihara shalat kita akan mampu memelihara seluruh ibadah dan juga berguna untuk melarang dari hal yang keji dan mungkar, khususnya jika disempurnakan pemeliharaannya sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah dalam firman-Nya, { وَقُومُوا للهِ قَانِتِينَ } “Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” yaitu dengan rasa rendah yang tulus ikhlas dan khusyu’, karena patuh itu adalah ketaatan yang langgeng yang dibarengi dengan kekhusyu’an.

Q.S. Al Baqarah ayat 239 : Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.
Tafsir Ayat : 239
Dan firmanNya, { فَإِنْ خِفْتُمْ } “Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya)”; hal yang ditakuti tidak disebutkan agar ketakutan tersebut adalah rasa takut dari perkara yang lebih umum seperti dari musuh, binatang buas, dan kehilangan suatu hal yang dikhawatirkan oleh manusia. Maka shalatlah kalian, { رِجَالاً } “sambil berjalan”,berjalan di atas kaki kalian, { أَوْ رُكْبَانًا } “atau berkendaraan” di atas kuda, unta atau segala macam kendaraan. Dan dalam kondisi seperti ini tidaklah harus menghadap kiblat.
Inilah sifat shalat orang-orang yang berhalangan karena ketakutan, lalu apabila telah berada pada kondisi yang aman, maka ia harus shalat dengan sempurna, dan termasuk dalam firmanNya, {فَإِذَآ أَمِنتُمْ فَاذْكُرُوا اللهَ } “Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah)” dengan menyempurnakan shalat, dan termasuk di dalamnya juga adalah memperbanyak dzikir kepada Allah sebagai rasa syukur kepadaNya atas nikmat keamanan dan nikmat pendidikan yang merupakan kebahagiaan seorang hamba.
Ayat ini juga menunjukkan keutamaan ilmu dan bahwa orang yang diberikan ilmu oleh Allah tentang perkara yang sebelumnya dia tidak ketahui, maka wajiblah atasnya memperbanyak dzikir kepadaNya, dan ayat ini juga merupakan tanda bahwa memperbanyak dzikir kepadaNya menjadi faktor penyebab diberikannya ilmu-ilmu yang lain, karena kesyukuran itu diiringi dengan penambahan.
Sebab Turunnya Ayat
Sebagaimana disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim bahwa sebab turunnya ayat diatas adalah:
عن أبي عمرو الشيباني قال قال لي زيد بن أرقم : إن كنا لنتكلم في الصلاة على عهد النبي صلى الله عليه و سلم يكلم أحدنا صاحبه بحاجته حتى نزلت { حافظوا على الصلوات } . الآية فأمرنا بالسكوت

Dari Abu ‘Amr Asy-Syaibani ia berkata: telah berkata kepadaku Zaid bin Arqam,“Sesungguhnya kami pernah berbicara dalam shalat pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, salah seorang di antara kami berbicara kepada temannya untuk kebutuhannya sehingga turunlah ayat, {Peliharalah segala shalat(mu)…..}, maka kami diperintahkan untuk diam (ketika dalam shalat).” (Bukhari, no: 1200, dan Muslim, no: 1203).
Pelajaran dari Ayat
·         Penjelasan tentang wajibnya menjaga shalat-shalat (yang diperintahkan) seperti shalat lima waktu.
·         Keutamaan shalat ‘ashr, karena Allah Ta’ala menyebutkan khushus setelah penyebutan perintah shalat secara umum, shalat ‘ashar juga merupakan shalat yang paling afdhal diantara dua shalat yang utama yaitu shalat ashr dan subuh, sebagaimana rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jelaskan keutamaan keduanya di dalam hadits-hadits, diantaranya sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, “Barang siapa yang shalat ‘al-bardaini’ (ashar dan subuh) maka ia masuk surga” (HR Al-Bukhari, no:574 dan Muslim, no:1438)
·         Wajibnya berdiri (dalam shalat), sebagaimana firmanNya, “Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu)”. Dan dikecualikan dari hal itu dalam beberapa keadaan, diantaranya:
·         Dalam shalat-shalat nafilah (sunnah); sebagaimana hal itu ditunjukkan dalam hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, hal itu apabila kita menjadikan lafadz { الصَّلَوَاتِ } “Shalat-shalat” adalah umum (seluruh shalat); adapun apabila kita jadikan lafadz tersebut adalah khusus untuk shalat-shalat fara’idh (lima waktu), maka tidak ada pengecualian (perintah wajibnya berdiri dalam shalat)
·         Dikecualikan pula shalat dalam keadaan takut, seperti dalam keadaan perang atau yang lainnya
·         Dikecualikan juga bagi makmum yang mampu berdiri apabila shalat bersama imam yang duduk (karena tidak mampu berdiri) sejak dari awal shalatnya, sebagaimana hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang imam, “Apabila imam shalat dalam keadaan duduk maka shalatlah kalian (para makmum) semuanya dengan duduk” (HR. Al-Bukhari, no: 689, dan Muslim, no: 926), akan tetapi apabila imam memulai shalat dengan berdiri lalu merasa lemah kemudian duduk maka makmum shalat tetap dalam keadaan berdiri, sebagaimana kisah Abu Bakar yang menjadi imam lalu datang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian shalat dengan duduk sedangkan para sahabat melanjutkan dalam keadaan berdiri. (lihat hadits tentang kisah tersebut dalam shahih bukhari, no 687, dan Muslim, no: 936).
·         Wajibnya ikhlas untuk Allah dalam shalatnya dan seluruh ibadah-ibadah lainnya
·         Hendaknya bagi seorang hamba apabila beribadah kepada Allah Ta’ala merasa bahwa ibadah tersebut adalah merupakan perintah Allah, karena hal itu akan lebih memotivasi dirinya dalam menunaikannya dan patuh kepadaNya; demikian pula hendaknya ia berusaha menghadirkan bahwa seolah-olah ia mencontoh rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seperti menyaksikan beliau dengan mata kepala secara nyata; sebagaimana perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat” (HR Al-Bukhari, no: 631), maka yang demikian itu telah sempurnalah mutaba’ahnya.
·         Perintah untuk ‘al-qunut’ kepada Allah Azza wajalla, yaitu khusyu’nya hati yang mewujudkan tenangnya anggota badan di dalam shalat.
·         Haramnya berbicara di dalam shalat, sebagaimana sebab turunnya ayat ini, yaitu bahwa mereka (sebagian sahabat-sahabat) pada saat itu berbicara di dalam shalat mereka sehingga turunlah ayat ini, maka mereka diperintahkan untuk diam dan dilarang untuk berbicara di dalam shalat.
·         Luasnya rahmat Allah ‘Azza wajalla, dan bahwa agama ini adalah mudah, sebagaimana firmanNya, “Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.”, karena hal ini merupakan kemudahan terhadap para hamba.
·         Bolehnya banyak gerakan di dalam shalat karena dharurat.
·         Bolehnya shalat di atas kendaraan, dalam keadaan takut, adapun apabila dalam keadaan aman (tidak takut) maka tidak diperbolehkan shalat di atas kendaraan kecuali shalat nafilah (sunnah); kecuali apabila tidak memungkinkan untuk melakukan shalat (fardhu) dengan sempurna maka hal itu boleh. Oleh karena itu maka kami berpendapat boleh shalat diatas kapal, kereta, dan yang semisalnya, dan apabila seseorang khawatir keluarnya waktu maka ia boleh shalat dalam keadaan apapun walaupun dalam keadaan berbaring dan dimana saja (yang dibolehkan), (sebagaiman hal itu diungkapkan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam tafsirnya tentang ayat ini).
·         Bahwa wajib bagi seseorang untuk menunaikan ibadah dengan sempurna apabila telah hilang halangan yang menghalanginya (untuk beribadah dengan sempurna).
·         Bahwa shalat adalah termasuk dzikir
·         Penjelasan tentang karunia Allah kepada kita dengan diberikannya ilmu
·         Penjelasan tentang sifat kurang bagi manusia, yang mana pada asalnya bahwa manusia adalah tidak mengetahui, lalu Allah Ta’ala mengajarkannya.
Dikumpulkan oleh: Abu Thalhah Andri Abdul Halim
Sumber Rujukan :
1. Aisar Tafasir oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Maktabah al-Ulum wa al-Hikmah
2. Tafsir al-Quran al-Karim oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, Dar Ibnul Jauzi.
3. Taisir al-Karim ar-Rahman (tafsir as-Sa’di)
4. Tafsir Ruhul ma’ani, karya Al-Alusi
5. Nadzmud Durar, karya Al-Biqaa’i
6. Shahih Bukhari
7. Shahih Muslim





Tambahan untuk penjelasan kedua ayat tersebut berupa Hadits :
Hadits Bukhari 4169
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا يَزِيدُ أَخْبَرَنَا هِشَامٌ عَنْ مُحَمَّدٍ عَنْ عَبِيدَةَ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ح و حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ عَنْ عَبِيدَةَ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَوْمَ الْخَنْدَقِ حَبَسُونَا عَنْ صَلَاةِ الْوُسْطَى حَتَّى غَابَتْ الشَّمْسُ مَلَأَ اللَّهُ قُبُورَهُمْ وَبُيُوتَهُمْ أَوْ أَجْوَافَهُمْ شَكَّ يَحْيَى نَارًا
Mereka telah menyibukkan kita dari shalat wustha yaitu shalat asar, hingga matahari terbenam, semoga Allah memenuhi kuburan & rumah mereka atau perut -Yahya merasa ragu- mereka dgn api.
Hadits Bukhari 4170
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ عَنْ الْحَارِثِ بْنِ شُبَيْلٍ عَنْ أَبِي عَمْرٍو الشَّيْبَانِيِّ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ قَالَ كُنَّا نَتَكَلَّمُ فِي الصَّلَاةِ يُكَلِّمُ أَحَدُنَا أَخَاهُ فِي حَاجَتِهِ حَتَّى نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ { حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ } فَأُمِرْنَا بِالسُّكُوتِ
Kami berbincang-bincang pada waktu shalat. Seorang dari kami berbicara dgn temannya karena ada satu keperluan, hingga akhirnya turunlah ayat: Dan berdirilah untuk Allah dalam shalatmu dgn khusyu. Lalu kami diperintahkan untuk diam.'

Penjelasan tentang kedua ayat tersebut di unduh dari :

Sabtu, 26 Januari 2013

PEMBAGIAN HUKUM PIDANA


Dalam materi ini kita akan coba mengkaji tentang pembagian Hukum Pidana. Jenis Hukum Pidana antara lain adalah, sebagai berikut :
1.       Hukum Pidana Material dan Hukum Pidana Formal
Berkenaan dengan pembedaan Hukum Pidana material dan formal, dapat dikutif pendapat beberapa pakar, antara lain :
a.       Prof.van HAMEL
Het materieele strafrecht wijst de beginselen en regelen aan, waarnaar aan het onrecht straf is verbonden; het formale de vormen en terminjen, waaraan de verwezenlijking van het materieele strafrecht gebonden is (= Hukum Pidana Material itu menunjukkan asas-asas dan peraturan-peraturan yang mengaitkan pelanggaran hukum itu dengan hukuman, sedangkan Hukum Pidana Formal menunjukkan bentuk-bentuk dan jangka-jangka waktu yang mengikat pemberlakuan Hukum Pidana Material) (van HAMEL, Inleding, hlm.3. di dalam P.A.F.Lamintang.1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Citra Aditya Bakti. Hlm.10).
b.      Prof.van HATTUM
Tot het materieele strafrecht behoren alle bepalingen en voorschriften welke de strafbare gedragingen, de daarvoor aan sprakelijke personen en de deswege op te leggen straffen aanwijzen. Men zou kunnen spreken van strafrecht in abstracto. Het formele strafrecht bevat de voorschriften volgens welke het abstracte strafrecht in concretis tot gelding moet worden gebracht. Gewoonlijk spreekt men van strafprocesrecht (= Termasuk ke dalam Hukum Pidana Material yaitu semua ketentuan-ketentuan dan peraturan yang menunjukkan tentang tindakan-tindakan yang mana adalah merupakan tindakan-tindakan yang dapat dihukum, siapakah orangnya yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindakan-tindakan tersebut dan hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan terhadap orang tersebut. Orang dapat menyebutnya sebagai hukum pidana yang abstrak. Hukum Pidana Formal itu memuat peraturan-peraturan yang mengatur tentang bagaimana caranya hukum pidana yang bersifat abstrak itu harus diberlakukan secara nyata. Biasanya orang menyebut jenis hukum pidana ini sebagai Hukum Acara Pidana) (van HATTUM, Hand-een Leerboek I, hlm. 48, di dalam P.A.F.Lamintang.1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Citra Aditya Bakti. Hlm.10-11).   
c.       Prof.SIMONS
Het materieele strafrecht bevat aanwijzingen en de omschrijving der strafbare feiten, de regeling van de voorwaarden van strafbaarheid, de aanwijzing van de strafbare personen en de bepalingen der straffen; het bepaalt of, wie en hoe gestraf kan worden. Het formeele strafrecht regelt hoe de Staat door middle van zijne organen zijn recht tot straffen en strafoplegging doet gelden,en omvat dus het strafproces (= Hukum Pidana Material itu memuat ketentuan-ketentuan dan rumusan-rumusan dari tindak-tindak pidana, peraturan-peraturan mengenai syarat-syarat tentang bilamana seseorang itu menjadi dapat dihukum, penunjukan dari orang-orang yang dapat dihukum dan ketentuan-ketentuan mengenai hukuman-hukumannya sendiri; jadi ia menentukan tentang bilamana seseorang itu dapat dihukum, siapa yang dapat dihukum dan bilamana hukuman tersebut dijatuhkan. Hukum Pidana Formal itu mengatur bagaimana caranya negara dengan perantaraan alat-alat kekuasaannya menggunakan haknya untuk menghukum dan menjatuhkan hukuman, dengan demikian ia memuat acara pidana (SIMONS, Leerboek, hlm.2-3, di dalam P.A.F.Lamintang.1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Citra Aditya Bakti. Hlm. 11).
Contoh dari Hukum Pidana Material :
·         KUHP, misalnya : pasal 362 KUHP yaitu: "Barang siapa mengambil suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah".


Contoh dari Hukum Pidana Formal :
·         KUHAP, misalnya : Pasal 1 angka 27 KUHAP : “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dan pengetahuannya itu.”


2.       Hukum Pidana yang dikodifikasi dan Hukum Pidana yang tidak dikodifikasi
Hukum Pidana Yang Dikodifikasi adalah kumpulan peraturan hukum pidana yang disatukan dalam satu buku sebagai sebuah kesatuan yang utuh menyeluruh, contohnya : KUHP.
Hukum Pidana Yang Tidak Dikodifikasi adalah kumpulan peraturan hukum pidana yang tersebar di dalam berbagai undang-undang, baik undang-undang pidana, maupun undang-undang non pidana yang memuat tentang sanksi pidana, contohnya : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
3.       Hukum Pidana Bagian Umum dan Hukum Pidana Bagian Khusus
Hukum Pidana Bagian Umum atau algemene deel adalah Hukum Pidana Yang Memuat tentang asas-asas umum, misalnya : Buku I KUHP.
Hukum Pidana Bagian Khusus atau bijzonder deel adalah Hukum Pidana Yang Mengatur tentang masalah kejahatan dan pelanggaran, baik yang diatur dalam Hukum Pidana Yang Dikodifikasi, misalnya : pasal 362 KUHP yaitu: "Barang siapa mengambil suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah" (Buku II KUHP)  dan Buku III KUHP, maupun yang diatur dalam Hukum Pidana Yang Tidak Terkodifikasi, misalnya : Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, menbayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan uang uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan (Pasal 3 UU RI No. 8 Tahun 2010).
4.       Hukum Pidana Biasa dan Hukum Pidana Khusus
Hukum Pidana Biasa atau algemeen strafrecht adalah Hukum Pidana yang dengan sengaja telah dibentuk untuk diberlakukan bagi setiap orang pada umumnya (P.A.F.Lamintang.1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Citra Aditya Bakti. Hlm. 12), contohnya : KUHP.
Hukum Pidana Khusus atau bijzonder strafrecht adalah hukum pidana yang dengan sengaja telah dibentuk untuk diberlakukan bagi orang-orang tertentu saja atau hukum pidana yang mengatur tindak pidana tertentu saja (P.A.F.Lamintang.1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Citra Aditya Bakti. Hlm. 12), contohnya : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
5.       Hukum Pidana Nasional dan Hukum Pidana Lokal
Hukum Pidana Nasional adalah hukum pidana yang dibuat dan diberlakukan untuk setiap orang di seluruh wilayah Negara  Kesatuan Republik Indonesia, misalnya : KUHP.
Hukum Pidana Lokal adalah hukum pidana yang dibuat dan diberlakukan untuk setiap orang diwilayah daerah tingkat I atau diwilayah tingkat II, misalnya : PERDA Syariah tentang Kewajiban Berjilbab Yang Berlaku di NAD.