Rabu, 12 September 2012

Negara Ini Menolak untuk Jualan Coca-Cola

TEMPO.CO , Atlanta - Setelah hampir 60 tahun, minuman ringan asal Amerika Serikat,  Coca-Cola, dijual
lagi di Myanmar. Coca-Cola, yang menjual 1,8 miliar botol per hari, mulai melakukan pengiriman
pertama ke Myanmar pada Senin dan produksi lokal akan segera dimulai.
Menurut penulis buku A History of the World in Six Glasses, Tom Standage, masuknya Coca-Cola ke dalam
sebuah negara mengirimkan sebuah  simbol yang kuat tentang hubungan Amerika Serikat dengan negara
itu. "Saat Coca-Cola mulai pengiriman ke sebuah negara adalah saat Anda bisa mengatakan mungkin ada
perubahan nyata terjadi di sana (negara itu)," katanya. "Coca-Cola adalah kapitalisme dalam botol."
Kini hanya ada dua negara di mana Coca-cola tidak secara resmi bisa dibeli atau dijual, yaitu Kuba dan
Korea Utara. Hal ini disebabkan embargo perdagangan oleh Amerika Serikat. Coca-Cola mengatakan jika
ada minuman yang dijual di negara-negara itu, mereka datang melalui "pihak ketiga yang tidak
berwenang".
Kuba sebenarnya adalah salah satu dari tiga negara pertama di luar Amerika Serikat yang menjual
coke, istilah lain Coca-cola, pada 1906. Namun, perusahaan itu pindah karena pemerintah Fidel Castro
mulai merebut aset swasta pada 1960 dan tidak pernah kembali.
Di Korea Utara, zona bebas Coca-Cola lainnya, baru-baru ini sebuah laporan menyebutkan bahwa
minuman ringan ini dijual di sebuah restoran di Pyongyang. Namun, Coca-Cola mengatakan jika ada
minuman yang dijual, baik di Korea Utara atau Kuba, maka artinya minuman ini diselundupkan melalui
pasar gelap, tidak melalui jalur resmi.
Minuman bersoda ini diciptakan pada 1886 di Atlanta, Georgia. Coca-Cola aktif menjual produknya
hingga ke mancanegara pada tahun-tahun awal perkembangannya. Pada awal 1900-an, minuman ini
telah tersebar di Asia dan Eropa.
Namun, dorongan besar datang sebagai akibat dari Perang Dunia II ketika Coca-Cola diberikan kepada
pasukan Amerika Serikat di luar negeri. Ada lebih dari 60 pabrik pembotolan militer untuk Coca-Cola di
seluruh dunia selama masa perang.
Dwight Eisenhower, pada saat itu komandan tertinggi pasukan Sekutu di Eropa, mengaku sebagai
penggemar Coca-Cola dan ia memastikan ketersediaan minuman itu di Afrika Utara. Dia juga
memperkenalkan minuman ini untuk jenderal Uni Soviet, Georgy Zhukov, yang meminta Coca-Cola
dengan warna serupa vodka.
Selama Perang Dingin, Coca-Cola menjadi simbol kapitalisme dan faultline antara kapitalisme dan
komunisme, kata Bruce Webster, konsultan merek yang pernah bekerja sama dengan Coca-Cola.
"Coca-cola tidak dipasarkan di Uni Soviet karena ketakutan bahwa keuntungan akan langsung masuk ke
kas pemerintah komunis," kata Standage. Pepsi mengisi kesenjangan dan banyak dijual di negara itu.
Ketika tembok Berlin runtuh pada 1989, banyak warga Jerman Timur membeli Coca-Cola, kata Standage.
"Minum Coca-Cola menjadi simbol kebebasan."
Coca-Cola tidak berusaha untuk terlibat dalam politik, menurut Webster. Namun, sebagai sebuah merek
besar yang terkait erat dengan Amerika Serikat, kadang-kadang Coca-Cola terjerat juga dalam politik.
Pada 2003, pengunjuk rasa di Thailand menuangkan Coca-Cola ke jalan-jalan saat demonstrasi
menentang invasi Amerika Serikat ke Irak. Penjualan sementara ke negara ini pun dihentikan.
Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad, mengancam akan melarang Coca-Cola dan Presiden Venezuela
Hugo Chavez baru-baru ini mendesak orang untuk minum jus buah buatan lokal daripada minum Coca-
Cola atau Pepsi.
Kira-kira 126 tahun setelah kelahirannya, Coca-Cola masih moncer dari sisi penjualan. Standage
menyatakan pasar Coca-Cola sedang berkembang di India, Cina, dan Brasil.
Diunduh dari Tempo Online, 13/09/12
Bahan terkait materi penyusunan bahan ajar kuliah tindak pidana dibidang ekonomi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar