SEMARANG, KOMPAS.com - Kendati akhirnya hakim membebaskan Budi Hermawan (28) dan Misbachul Munir (20), kasus yang membawa kedua warga Magelang, Jawa Tengah ini, sampai menjadi terdakwa gara-gara memotong bambu milik tetangga- tetap mengundang keprihatinan sejumlah kalangan.
Kasus ini setidaknya menunjukkan bahwa aparat penegak hukum yang membawa kasus ini sampai ke pengadilan, masih terbelenggu oleh pasal-pasal undang-undang. Masuknya kasus tersebut hingga ke pengadilan menunjukkan lemahnya sistem penegakan hukum di Tanah Air.
Keprihatinan ini terungkap dalam Diskusi Komunitas Tjipian (Satjipto Rahardjo Institut) di Kantor Redaksi Kompas Perwakilan Jawa Tengah, Kamis (10/1/2013) petang hingga malam.
Diskusi yang menghadirkan sejumlah dosen dan mahasiswa fakultas hukum dari beberapa universitas seperti Universitas Diponegoro Semarang, Universitas Negeri Semarang (Unnes), dan beberapa universitas swasta di Semarang.
Dalam diskusi tersebut, baik dosen maupun mahasiswa menilai putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Kota Mungkid, Kabupaten Magelang, yang membebaskan kedua terdakwa setidaknya melegakan masyarakat. Pasalnya proses hukum tersebut benar-benar menciderai rasa keadilan masyarakat.
Seperti diberitakan, Senin (7/1/2013) lalu, majelis hakim PN Mungkid membebaskan Budi Hermawan dan Misbachul Munir. Tindakan mereka memotong bambu milik tetangga mereka, Miyanah, warga Dusun Tampingan II, Desa Tampingan, Kecamatan Tegalrejo, Kabupaten Magelang, menurut hakim bukanlah perbuatan melanggar hukum.
Sebelumnya kasus ini sampai ke pengadilan, karena pada April lalu keduanya membersihkan batang bambu milik Miyanah yang ambruk di dekat rumah Siti Fatimah, ibu Munir.
Warga setempat sempat meminta Miyanah memotong bambu itu menutupi jalan warga menuju sumber air, namun setelah sepekan tidak juga dibersihkan, Budi dan Munir pun memotong bambu tersebut. Langkah ini menimbulkan protes Miyanah, yang kemudian berakhir ke pengadilan.
Di pengadilan majelis hakim menyatakan keduanya tidak bersalah, dan membebaskan keduanya dari dakwaan jaksa penuntut umum. Mereka didakwa dengan Pasal 170 Ayat 1 dan Pasal 406 ayat 1 juncto Pasal 55 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
"Menarik, kalau kita melihat kasus ini dari perpektif hukum progresif. Di mana dalam kasus ini, gaya ber'hukum' yang dijalankan masih seperti mesin mekanik yang bekerjanya sistem tersebut seperti gerak mekanika belaka," papar Tandyono Adhi Triutomo, mahasiswa Fakultas Hukum Unnes Semarang.
Rian Adhivira, mahasiswa Fakultas Hukum Undip menegaskan kasus Budi dan Munir tersebut patut menimbulkan pertanyaan mendalam bagi para pencari keadilan hukum. "Bagaimana tidak, dalam kasus tersebut dua tersangka menjelaskan maksud mereka memotong bambu hanya untuk merapikan keberadaan bambu tersebut, tidak tahunya si pemilik melaporkan hal itu kepada polisi dengan dalih perusakan," papar Rian.
Dalam kasus ini, aparat penegak hukum masih terkungkung pada penegakan hukum prosedural tanpa pertimbangan kontekstual nurani dari penegakan hukum itu sendiri. "Penegak hukum masih kaku dalam melihat persoalan hukum di tengah masyarakat, sehingga menjadi mungkin setiap tindakan mereka bisa menyeret masyarakat ke jurang hitam," papar Alfajrin Titaheluw, salah satu mahasiswa Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Undip.
Pengajar Fakultas Hukum Undip Adil Lugianto bahkan menilai apa yang terjadi dalam proses hukum kasus pemotongan dua batang bambu tersebut sebetulnya sulit masuk dalam logika berpikir. Karena menurutnya, sudah seharusnya seseorang bertanggung jawab atas barang dia miliki, apalagi jika sampai mengganggu orang lain. Hal itu bahkan di atur dalam aturan perundang-undangan.
Editor: Robert Adhi Ksp
Tidak ada komentar:
Posting Komentar