TEMPO.CO, Jakarta -Kepolisian Daerah Metro Jaya berhasil membekuk 14 anggota sindikat pembobol mesin kartu kredit. Direktur Kriminal Umum Komisaris Besar Gatot Edy mengatakan komplotan yang beraksi sejak 2010 ini berhasil menggondol uang Rp 81 miliar. “Modusnya unik dan terorganisir dengan sangat baik,” kata Juru Bicara Polda Metro Jaya Komisaris Besar Baharudin Djafar di Markas Polda Metro Jaya pada Kamis 29 September 2011 sore tadi. Empar belas tersangka itu Ranand Lolong, Andi Rubian, Harun Wijaya, Kusnandar, Haris Mulyadi, Firmansyah, Hoisaeni Ibrahim, Muhril Zain Sany, Yayat Ahadiyat, Yudi Dwilianto, Budy Putro, Raden Adi Dewanto, Nurdin, dan Firmanto Gandawidjaja. “Ranand Lolong adalah residivis di Singapura dan buronan di Malaysia,” kata Direktur Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Gatot Edy. Ranand sebelumnya pernah dipenjara di Singapura selama empat tahun atas kasus pemalsuan identitas. Menurut Gatot, kelompok ini bekerja dengan peran yang terbagi-bagi. Tak ada pemimpin sindikat pembobolan ini. “Mereka bos semua.” Salah satu dari mereka, yakni Yudi Dwilianto, adalah mantan karyawan bank swasta bagian Card Center. Yudi sudah 10 tahun bekerja di sebelum keluar pada 2009. Gatot mengaku tak tahu alasan mengapa Yudi keluar dari bank itu Ia tidak dipecat, tapi diminta mengundurkan diri. Gatot menjelaskan sindikat ini membobol mesin dengan dua modus utama. Modus pertama komplotan ini mencuri data dari pemilik alat gesek kartu di pertokoan atau tempat-tempat transaksi lain. Kasus terbaru adalah pencurian data alat gesek kartu dari Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Kebayoran Baru yang terjadi sejak 18 Agustus hingga 9 September. Setelah mengetahui alat gesek kartu kredit di SPBU rusak, komplotan ini datang menawarkan jasa untuk memperbaiki alat itu. Untuk mengelabui pengelola, mereka datang dengan surat kuasa bank palsu. Pengelola pun menyerahkan alat gesek yang rusak beserta rekening dan pin pemilik SPBU. Alat gesek lain mereka serahkan ke SPBU sebagai pengganti yang rusak.“Mereka meminta pin dan rekening untuk memastikan keberhasilan perbaikan alat,” ujar anggota reserse yang enggan disebutkan namanya. Dari alat gesek yang mereka ambil dari SPBU, komplotan pembobol mencuri data pemilik. Antara lain data otorisasi transaksi. Seluruh rekaman transaksi yang terjadi di SPBU kemudian diajukan ke bank untuk seterusnya dicairkan. Total dana yang mereka curi dari SPBU sepanjang pertengahan Agustus mencapai Rp 432 juta. Lantaran komplotan memegang rekening dan nomor pin pemilik SPBU, uang itu dialirkan ke sembilan rekening milik pelaku. “Rekening itu asli tapi dibuat dengan data palsu.” Modus lainnya adalah dengan membuat transaksi pengembalian (refund ) fiktif. Korbannya biasanya pertokoan dan pusat perbelanjaan. Anggota reserse yang enggan disebutkan namanya menjelaskan komplotan itu mencuri data dari alat gesek kartu kredit yang terdapat di pertokoan. Setiap alat gesek memiliki nomor identifikasi sendiri yang berbeda dengan alat lain. Nomor inilah yang dicuri oleh komplotan. “Caranya bagaimana mereka dapat nomor masih didalami.” Nomor itu kemudian ditanamkan di alat gesek milik komplotan. Sehingga bisa membuat transaksi seolah-olah dari toko. Komplotan kemudian membuat transaksi dengan kartu kredit menggunakan alat gesek yang mereka pegang. “Mereka seolah-olah belanja padahal tidak,” kata Gatot. Tapi catatan transaksi belanja fiktif tetap tercatat di alat gesek kartu. Kemudian komplotan memencet opsi refund dalam alat itu. Dengan demikian bank punya kewajiban untuk mengembalikan uang senilai dengan transaksi belanja fiktif tersebut. Uang refund masuk ke rekening mereka. Gatot mengatakan aparat akan terus mengembangkan kasus ini. Termasuk mengusut adakah kerjasama yang dilakukan antara komplotan dengan pertokoan atau tempat transaksi yang memiliki alat gesek kartu kredit. Dari seluruh tersangka aparat menyita ratusan Kartu Tanda Penduduk Palsu, puluhan kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM) palsu, belasan mesin alat gesek kartu kredit, ijazah palsu, dan barang bukti lainnya. Bank yang dirugikan komplotan ini Bank Nasional Indonesia sebesar Rp 1,2 miliar, Danamon Rp 5,3 miliar, Permata Rp 70 miliar, CIMB Niaga Rp 60 juta, dan Bukopin Rp 300 juta. Semuanya dalam kurun waktu 2010-2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar